Opini Asvi Warman Adam: Adat Bersendi Syarak, Nikah Bersendi Cinta

Opini Asvi Warman Adam Adat Bersendi Syarak Nikah Bersendi Cinta

Adat Bersendi Syarak, Nikah Bersendi Cinta

(Sejarawan Minang)


Saya mengenal baik tiga figur yang menikah beda agama. Pertama, senior saya, pengamat masalah internasional, C.P.F. Luhulima, Ambon Kristen yang mengawini rekannya sesama pegawai/peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Achie, perempuan Jawa beragama Islam. Mereka sama-sama mempertahankan agama masing-masing. Ibu Achie adalah seorang penganut agama yang taat. Beliau juga menunaikan rukun Islam yang kelima ke tanah suci. Tentu Ibu Achie-lah yang naik haji, bukan Pak Luhulima. Ketika istrinya terserang kanker payudara, dan syukur bisa disembuhkan, terlihat betapa sayangnya Pak Luhulima terhadap Ibu Achie. Mereka berdua sudah berusia lebih dari 80 tahun dan hidup rukun. 

Kasus kedua terjadi pada rekan saya, Zatni Arbi, Minang dan Islam, peneliti LIPI yang juga dikenal sebagai penulis masalah IT pada harian The Jakarta Post. Ia menikah dengan gadis Tionghoa-Solo yang beragama Katolik, Hanny. Cinta mereka bersemi di ruang kelas karena, setamat kuliah dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Zatni mengajar dalam kursus bahasa Inggris, dan ternyata ada seorang siswi yang menarik perhatiannya. Hubungan mereka sempat ditentang orang tua masing-masing. Ibu Zatni ingin putra bungsunya menikah dengan gadis yang seagama.

Cinta mengalahkan segalanya, mereka dinikahkan penghulu secara Islam dan selanjutnya pasangan ini melanjutkan studi ke Hawaii, Amerika Serikat. Mereka dikaruniai seorang putri yang mengikuti agama ibunya, yakni Katolik. Apa yang sudah dipersatukan Tuhan tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Kecuali kalau Tuhan yang berkehendak lain: Zatni meninggal beberapa bulan lalu karena kanker hati. Pada sebuah majalah alumni sekolah, Hanny menceritakan kisah asmara mereka. Ternyata mereka menikah tiga kali dengan pasangan yang sama. Pertama, di depan penghulu secara Islam. Kedua, secara negara di kantor catatan sipil. Terakhir, sepulang dari Hawaii, secara Katolik, mereka memperoleh Surat Nikah Gerejani.

Contoh ketiga saya saksikan sendiri ketika tinggal di asrama UI Daksinapati, Rawamangun, Jakarta, pada 1980. Di depan kamar saya terdapat kamar Yusril Ihza Mahendra dan adiknya, Yusron Ihza. Yusron sering bertanya kepada saya ihwal berbagai istilah Minang, karena pacarnya adalah seorang Tionghoa asal Padang yang beragama Katolik. Perkawinan berbeda agama ini tentu mendapat rintangan dari kedua keluarga. Yang jelas, mereka tetap menikah dan selanjutnya belajar di Jepang sampai Yusron memperoleh gelar doktor. Mereka memiliki dua anak dan kembali ke Indonesia. Yusron Ihza pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Bulan Bintang dan belakangan menjadi calon Gubernur Bangka-Belitung. Saya tidak mengetahui lagi perkembangan bahtera rumah tangga mereka karena sudah lama sekali tidak bertemu. 

Dari ketiga kasus tersebut, saya menyimpulkan bahwa pernikahan berbeda agama itu betul-betul terjadi di sekitar kita. Ada yang prosesnya relatif mudah, tapi lebih banyak lagi yang mendapat penentangan dari pihak keluarga. Tapi yang jelas, mereka menikah berdasarkan cinta.


Cinta tapi Beda

Film Cinta tapi Beda, yang disutradarai Hanung Bramantyo, berkisah tentang seorang gadis penari asal Padang beragama Katolik jatuh cinta kepada seorang chef restoran asal Yogyakarta dan berasal dari lingkungan keluarga Islam saleh. Hubungan asmara mereka ditentang oleh keluarga masing-masing, yang sudah siap menjodohkan dengan pilihan orang tua.

Apakah film ini menghina adat dan agama Islam? Beberapa organisasi kemasyarakatan Minang memprotes film ini, yang dianggap bertentangan terhadap prinsip "Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah". Namun duduk persoalannya adalah Diana, tokoh utama dalam film ini yang bukan gadis Minang, walau berasal dari Padang. Mungkin saja dia berasal dari keluarga (campuran) Tionghoa, etnis minoritas yang bermukim di Sumatera Barat. Logat ibunya dan gambaran lingkungannya cocok dengan itu. Bahwa si gadis suka memakai kalung salib dan memesan babi rica-rica di restoran, tidak ada yang salah dengan hal itu, karena ia tidak beragama Islam. Bahwasanya hal tersebut didramatisasi agar terjadi ketegangan cerita, tentu merupakan cara sutradara membuat alur film ini tidak datar saja. 

Sang sutradara menegaskan pula bahwa filmnya berkisah tentang "cinta beda agama", bukan "nikah beda agama", karena ending-nya memang tidak memperlihatkan mereka melangsungkan perkawinan. Bahkan, pada adegan terakhir, diperlihatkan bahwa KUA menolak menikahkan pasangan yang berbeda agama. Ucapan Gus Dur tentang perbedaan agama menutup film ini. Walaupun kemudian, setelah film tersebut beredar beberapa lama, atas usul Front Pembela Islam, ditambahkan pula kalimat yang menyatakan, menurut syariah, boleh saja seorang pria muslim menikahi perempuan beragama lain tapi tidak berlaku sebaliknya. 

Film ini, menurut hemat saya, berhasil menyampaikan pesan bahwa cinta bisa mengatasi perbedaan agama. Namun pernikahan antar-penganut agama yang berbeda masih/akan mendapat rintangan dari keluarga dan negara.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال