Agama dan Lingkungan Hidup
Akhir-akhir ini bencana banjir, tanah longsor, dan angin ribut masih mengancam beberapa daerah di Indonesia seperti di DKI Jakarta. Fenomena bencana banjir dan tanah longsor itu karena manusia telah gagal mengemban misinya sebagai pemimpin atau khalifah di muka bumi, untuk memelihara lingkungan hidup.
Salah satu faktor penyebabnya adalah umat manusia kurang peduli dalam menjaga lingkungan. Hal itu menjadikan manusia dengan kadar keimanan dan ketakwaan semakin tipis dan acuh terhadap proses perusakan lingkungan alam yang makin cepat dan meluas.
Kejadian bencana banjir dan tanah longsor yang hampir terjadi setiap tahun pada musim hujan, menyiratkan sesuatu tentang kerusakan lingkungan dan manusia tidak mampu melestarikan lingkungan.
Bumi pertiwi Indonesia seakan-akan mengalami kesakitan yang luar biasa akibat kenyataan ini. Rusaknya alam membuat keseimbangan lingkungan hidup mengalami ketimpangan. Rentetan bencana seperti banjir, tanah longsor, kebakaran, pencemaran lingkungan memperparah kondisi lingkungan hidup manusia.
Keberadaan pepohonan dan penghijauaan yang ada di kota-kota jangan digusur dan dibabat habis untuk kepentingan pembangunan perumahan dan pendirian toko-toko, supermarket dan mal serta perluasan jalan. Kota-kota membutuhkan banyak pohon dan penghijauan sebagai upaya penyerapan terhadap zat zat yang kotor dan upaya penyerapan air, sehingga banjir yang datang tiap tahun di Ibu Kota ini bisa dicegah.
Alam semesta dalam pikiran Yunani kuno merupakan suatu harmoni dan teratur. Akan tetapi, sekarang ini mulai terlihat tak teratur dan menimbulkan persoalan kompleks. Ini karena tidak hanya menyangkut masyarakat dan teknologi, alam saja, tapi juga mengena perilaku manusia terhadap alam dan lingkungan yang sangat merusak.
Komunitas alam ini yang terdiri dari tumbuhan-tumbuhan, hewan, air, dan tanah, udara, dan manusia, telah dirusak oleh perilaku manusia sendiri. Salah satunya yang menyebabkan kerusakan lingkungan adalah paradigma antroposentrisme yang selalu mengeksploitasi dan menguras alam semesta demi memenuhi kepentingan manusia.
Tindakan yang eskploitatif, destruktif dan tidak peduli terhadap alam tersebut berakar kuat pada cara pandang yang hanya mementingkan manusia. Pandangan ini jelas akan melahirkan sikap dan perilaku rakus dan tamak yang menyebabkan manusia mengambil semua kebutuhannya dari alam tanpa mempertimbangkan keseimbangan dan kelestarian.
Arne Naess dalam “Ecology, Community and Lifestyle” (1993) menyatakan bahwa manusia tidak mempunyai hak untuk mereduksi kekayaan dan keanakeragaman ini kecuali untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang vital. Manusia harus menggunakan kebutuhan sumber daya alam sesuai dengan kebutuhan dan tidak boleh berlebihan.
Pandangan antroposentrisme, disadari atau tidak, telah menimbulkan kejahatan terhadap lingkungan. Peristiwa yang paling banyak disoroti dalam kaitannya dengan keberlanjutan bumi, yang paling sering kita dengar setiap harinya adalah kejahatan lingkungan. Terjadinya polusi udara, air, tanah, illegal logging, dan yang lainnya merupakan bagian dari kejahatan lingkungan.
Spiritualisme Lingkungan
Karena itu, kita sebagai pemimpin di bumi ini adalah untuk memenuhi amanah Tuhan yang mencakup kewajiban dan tanggung jawab moral, sosial manusia terhadap Tuhan terhadap diri manusia sendiri dan sesama manusia serta lingkungan hidup.
Dengan demikian, relasi manusia dengan lingkungan dan kehidupan ini berarti menjadi pengelola, penguasa, pemakmur dan penyelenggara atas kehidupan yang berlangsung ini. Manusia dianggap oleh Tuhan yang memiliki otoritas penuh terhadap alam, sebagai wakilnya manusia harus mampu melestarikan lingkungan alam dengan baik.
Lingkungan hidup merupakan salah satu bagian dari konsep religius. Karena itu, dalam perspektif Islam bencana alam sebenarnya memberikan otokritik bagi kita sebagai manusia beragama, sejauh mana nilai-nilai spritualitas mewarnai kebijakan kita tentang lingkungan.
Selama ini kita hanya terjebak dengan kecenderungan-kecenderungan yang vested interest, sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak ramah lingkungan yang berakibat pada eksploitasi alam secara tidak proporsional dan merusak keseimbangan ekosistem.
Dalam hal ini, wajar kalau Al-Gore, mantan Wakil Presiden Amerika, dalam karyanya “Earth in the Balance: Ecology and the Human Spirit” menyatakan, “Semakin dalam saya menggali akar krisis lingkungan yang melanda dunia, semakin mantap keyakinan saya bahwa krisis ini tidak lain adalah manifestasi nyata dari krisis spiritual kita.”
Pada tahap inilah statement Al-Gore di atas sangat menggugat dimensi terdalam dari sisi kemanusiaan kita. Fenomena bencana alam sebenarnya manifestasi nyata dari krisis spiritual, demikian mengikuti bahasanya. Kalau begitu, berarti nilai-nilai keberagamaan kita selama ini apatis begitu saja.
Karenanya, tidak mempertimbangkan nilai-nilai spiritualitas dalam setiap mengambil kebijakan mengenai lingkungan yang sesungguhnya itu adalah langkah mendasar yang perlu dilakukan di masa mendatang. Kesadaran ini tidak hanya dilakukan pada tingkat kolektif-formal oleh para aparatus negara, tetapi juga mesti dimulai dari tingkat individual sebagai kesadaran pribadi.
EF Schumacher dalam karyanya “A Guide for The Perplexed”(1981), mengatakan masalah krisis lingkungan ini sangat terkait dengan krisis kemanusiaan, dengan moralitas sosial serta krisis orientasi kita terhadap Tuhan. Mengikuti kerangka berpikir Schumacher ini, seharusnya manusia yang dipersalahkan dan bukannya Tuhan. Kitalah yang melakukan berbagai tindakan destruktif terhadap lingkungan alam.
Karena itu, kehadiran The Celestine Vision sangat dibutuhkan dalam konteks saat ini, yang bermaksud mengingatkan kembali (recollection of meaning) kepada manusia, khususnya manusia modern yang rakus, materi dengan mengeksploitasi alam, agar mulai menyadari bahwa hidup itu sebatas pengejaran materi bukanlah “segalanya” dalam kehidupan manusia.
Ada sesuatu yang lebih berharga dari sekadar materi yaitu spiritualitas. Pergesaran ke orientasi spiritual ini merupakan protes keras gerakan New Agers terhadap dosa-dosa sains, kapitalisme, imperialisme, materialisme dan segala sesuatu yang sifatnya eksploitatif terhadap lingkungan.
Dimensi moral dan spiritual yang sepenuhnya dilahirkan kembali sebagai sebuah harapan yang paling mungkin, setelah berbagai usaha –usaha praktis sains dan teknologi tidak membawa pemecahannya. Inilah apa yang sering disebut orang sebagai mengembalikan world view dan etika. Thomas Bery mencatat bahwa kita perlu mengembalikan spritualitas terhadap lingkungan hidup dan alam sekitarnya.
Lingkungan alam yang dinamis merupakan “sebuah ladang spiritual” yang sudah seharusnya dijadikan sebagai langkah dan tindakan untuk selalu melakukan eksploitasi amal ibadah, bukan dalam rangka melakukan eksploitasi alam yang sebanyak-banyaknya; sehingga menyebabkan terjadinya bencana alam, karena alam harus dijadikan sebagai bagian untuk tercapainya alam transendental sebagai komunitas spiritualitas dengan sandaran Tuhan sebagai tujuan akhirnya. Darinya seluruh komunitas alam dan manusia berasal akan kembali kepada Tuhan.