Reformasi Politik untuk Mengatasi Kemiskinan Ekstrem
Institusi politik ekstraktif yang melahirkan institusi ekonomi ekstraktif menjadi penyebab utama kemiskinan. Karena itu, mengatasi kemiskinan tak cukup dengan sebentuk program, tetapi dengan reformasi politik.
Komitmen pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan ekstrem di Indonesia patut kita apresiasi. Kala banyak negara ragu dan pesimistis bisa memupus kemiskinan ekstrem pada 2030 sebagaimana ditargetkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Indonesia tampil secara lebih percaya diri.
Keseriusan dan komitmen itu terekam jelas dalam usulan anggaran pelindungan sosial 2024 yang begitu besar. Dalam paparan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2024, Kementerian Keuangan mengusulkan alokasi anggaran pelindungan sosial sebesar Rp 503,7 triliun hingga Rp 546,9 triliun (Kompas, 4/6/2024).
Keseriusan pemerintah juga terekam jelas dalam berbagai program yang dilakukan beberapa tahun terakhir. Mulai dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Kartu Indonesia Sehat (KIS), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), kartu sembako, hingga yang berkaitan dengan BUMN dan swasta, seperti BUMN Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), serta tanggung jawab sosial (corporate social responsibility/CSR) pada sektor swasta yang juga diarahkan untuk tujuan penanggulangan kemiskinan ekstrem.
Di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), misalnya, untuk saat ini setidaknya ada dua program yang dijalankan, yaitu Gerakan Asupan Kalori Harian (GAKH) dan pemutakhiran data keluarga miskin di setiap rukun tetangga yang dikenal dengan istilah by name by address (BNBA). Senapas dengan hal tersebut, jauh sebelum itu ada Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku)—penanggulangan kemiskinan berbasis pendekatan lingkungan—yang merupakan program strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Keseriusan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan ekstrem ini patut kita apresiasi. Namun, sudah tepatkah langkah yang diambil pemerintah untuk mengatasi kemiskinan ekstrem? Dalam hemat penulis, mengatasi kemiskinan ekstrem bukan hanya soal menyiapkan program dan mengalokasikan anggaran secara besar-besaran. Hal penting untuk dilakukan terlebih dahulu adalah memahami akar dan sebab utama kemiskinan untuk kemudian dibuatkan program yang searah dan komprehensif.
Memahami kemiskinan
Menurut Daron Acemoglu dan James A Robinson dalam buku Mengapa Negara Gagal, setidaknya ada tiga hipotesis yang digunakan oleh para pemikir sosial untuk memahami kemiskinan. Pertama, hipotesis geografi. Hipotesis yang dicetuskan oleh filsuf besar Perancis, Montesquieu, pada abad ke-18 ini mengatakan bahwa yang menentukan makmur miskinnya sebuah bangsa tak lain adalah kondisi geografis.
Negara dengan iklim tropis adalah negara yang oleh Montesquieu dipandang sebagai negara dengan masyarakat miskin. Karena, menurut dia, masyarakat yang hidup di daerah iklim tropis cenderung pemalas dan enggan menggunakan otaknya untuk berpikir. Akibatnya, mereka enggan bekerja keras dan berinovasi, yang kemudian menyebabkan mereka jatuh miskin.
Selain itu, hipotesis ini pada perkembangan selanjutnya juga menganggap bahwa penyakit-penyakit di daerah tropis, seperti malaria, juga memberikan dampak buruk terhadap produktivitas pekerja serta tanah-tanah yang ada di iklim tropis juga dianggap cenderung tidak subur, alias tidak cocok untuk melakukan aktivitas bertani dan bercocok tanam.
Kedua, hipotesis kebodohan. Hipotesis ini mengatakan bahwa kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang terjadi di negara-negara miskin tersebab karena penguasanya yang bodoh; tidak tahu cara mengelola sumber daya alam yang dimiliki sehingga kerap kali mengambil kebijakan ekonomi yang salah, yang kemudian berakibat fatal pada kehidupan dan ekonomi masyarakat.
Ketiga, hipotesis kebudayaan. Hipotesis yang dikembangkan dari pernyataan Max Weber—sosiolog berkebangsaan Jerman—ini mengatakan bahwa kebudayaan masyarakatlah yang menjadi penentu makmur tidaknya suatu kelompok masyarakat. Masyarakat dengan budaya terbuka akan cenderung makmur, dan berlakulah hal yang sebaliknya. Max Weber memberikan contoh kebangkitan masyarakat industri modern di Eropa Barat yang baginya berawal dari keterbukaan budaya masyarakat, yang dimulai dengan Reformasi Protestan dan etos kerja kaum Kristen Protestan yang dijunjung tinggi masyarakat Eropa Barat kala itu.
Ketiga hipotesis itu cukup populer di kalangan sosiolog dan pemikir sosial. Namun, menurut Acemoglu dan Robinson, ketiga hipotesis yang berusaha mengurai dan mencoba memberi kita jalan dalam memahami kemiskinan itu gagal menjelaskan semuanya. Sebab, pada kenyataannya, ketiga hipotesis itu tidak bisa menjelaskan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang terjadi di berbagai belahan dunia secara umum.
Hipotesis geografi gagal karena pada faktanya, banyak negara beriklim tropis sukses bangkit dari bencana kemiskinan, sebut saja Malaysia, Singapura, dan Botswana. Hipotesis kebodohan juga gagal meski tidak sepenuhnya. Sebab, menurut Acemoglu dan Robinson, hipotesis ini hanya bisa digunakan untuk menjelaskan kasus-kasus kemiskinan dan kesenjangan ekonomi pada level mikro dan sulit untuk diterapkan pada level yang sangat luas.
Sementara hipotesis kebudayaan, tak perlu lagi dijelaskan. Sebab, meski pada konteks Eropa Barat hipotesis ini dapat dibenarkan, hipotesis itu gagal menjawab asal-usul kemiskinan dan kemakmuran yang terjadi di sejumlah negara.
Jika ketiga hipotesis terkenal itu gagal, lalu hipotesis manakah yang bisa memahamkan kita tentang asal-usul kemiskinan? Acemoglu dan Robinson yang melakukan penelitian bertahun-tahun mengenai asal-usul kemiskinan dan kemakmuran di sejumlah negara memberi kita hipotesis alternatif.
Institusi politik ekstraktif (yang kemudian melahirkan institusi ekonomi ekstraktif) itulah yang sebenarnya menurut mereka menjadi sebab utama kemiskinan masyarakat. Institusi politik ekstraktif adalah institusi yang di dalamnya dikuasai oleh segelintir elite politik (oligarki), dan secara politis merekalah yang mengendalikan ”negara dengan segala kuasanya”.
Sebagai pemegang otoritas politik negara, mereka inilah yang pada tahap selanjutnya mengendalikan, mengatur, dan mendesain lahirnya institusi-institusi ekonomi yang beroperasi di masyarakat. Dan, tak terhindarkan, institusi ekonomi ekstraktiflah yang mereka ciptakan. Selanjutnya, institusi-institusi ekonomi ekstraktif, sebagai sebuah institusi yang lahir dari rahim institusi politik ekstraktif yang dikuasai oleh oligarki politik umumnya hanya akan menguntungkan satu pihak saja, yakni elite politik itu sendiri.
Sumber daya negara dikontrol sedemikian rupa melalui undang-undang agar menguntungkan mereka semata. Akibatnya, rakyat menjadi korban pemiskinan. Sementara elite politik yang mempunyai kendali sepenuhnya atas institusi politik-ekonomi semakin jaya menambah pundi-pundi kekayaannya.
Dari ketiga hipotesis yang ada, hipotesis alternatif yang diajukan oleh Acemoglu dan Robinson-lah yang dalam hemat penulis yang secara teoretis dapat menjawab asal-usul kemiskinan di Indonesia. Sebab, jika kita amati, kemiskinan yang terjadi di Indonesia sama sekali bukan karena kebudayaan kita yang belum terbuka, dan juga bukan pula karena pemimpin-pemimpin politik kita terlalu bodoh untuk mengambil kebijakan politik dan ekonomi.
Hipotesis geografis, kebudayaan, dan kebodohan tampak kurang relevan jika kita jadikan pisau analisis untuk memahami kemiskinan di Indonesia. Sebab, bencana kemiskinan yang terjadi di negeri ini lebih karena institusi-institusi politik dan ekonomi kita yang masih bekerja secara ekstraktif.
Bahkan, bisa dikatakan institusi-institusi politik dan ekonomi yang kita punya bukan hanya ekstraktif, melainkan juga koruptif. Hal itu terbukti dengan adanya banyak kasus korupsi yang terjadi di negeri ini. Dari level kementerian, DPR/DPRD, kepala daerah, swasta, hingga tingkat kepala desa, atau bahkan sampai level RT/RW terjadi secara akut. Akibatnya, hak ekonomi yang seharusnya menjadi hak rakyat terpenggal oleh kaki tangan oligarki.
Reformasi politik
Karena itu, dalam rangka mengatasi kemiskinan ekstrem di Indonesia, sebenarnya tak cukup hanya dengan mencanangkan sebentuk program. Sebanyak apa pun program yang direncanakan jika pada kenyataannya institusi politik yang kita punya, dari level atas hingga level yang paling bawah, masih bekerja secara ekstraktif dan koruptif, semua program tersebut tidak akan membuahkan hasil yang signifikan.
Sebab itu, penulis memandang bahwa sebelum segala bentuk program itu direalisasikan, maka reformasi politik sangat penting untuk dilakukan. Praktik korupsi yang nyaris melembaga pada institusi-institusi politik dan ekonomi kita harus dihilangkan. Jika tidak, segala program yang telah dicanangkan dengan anggaran yang mencapai ratusan triliun, hal itu hanya akan membuka peluang baru bagi para kleptokrat dan koruptor untuk melakukan korupsi dan pencurian.
Program-program penanggulangan dalam berbagai bentuknya memang penting, tetapi reformasi politik dalam rangka menghasilkan institusi politik dan ekonomi yang inklusif, yang berpihak kepada rakyat dan pembangunan juga tak kalah pentingnya. Sebab, inilah yang akan menentukan kemakmuran dan kemiskinan masyarakat Indonesia dalam jangka panjang.