Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Opini I Ngurah Suryawan: Mengembalikan ”Orientasi-orientasi Papua”

Mengembalikan ”Orientasi-orientasi Papua”

Mengembalikan ”Orientasi-orientasi Papua”

I Ngurah Suryawan
Antropolog Universitas Papua (Unipa) Manokwari, Papua Barat

Salah satu kritik penting dari buku Papua Road Map (2009), selanjutnya ditulis PRM, yang ditulis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang kini menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah minimnya kajian ini untuk merekognisi ”orientasi-orientasi” orang Papua yang tidak selalu sejalan dengan orientasi pembangunan dalam konteks negara bangsa Indonesia.

Jika kita mencermati, kajian PRM dengan tajam menggambarkan empat akar permasalahan Papua (status politik, kekerasan, ”kegagalan” pembangunan, dan marjinalisasi orang Papua), tetapi alpa merekognisi apa dan bagaimana ”orientasi-orientasi Papua” mengimajinasikan empat masalah mendasar tersebut. Intinya adalah nilai dan pengetahuan orang Papua dan yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana respons dan rumusan orang Papua terhadap diri dan masa depan mereka terhadap empat akar permasalahan Papua tersebut.

Saya mengadaptasi pemikiran ini dari artikel Jaap Timmer (2021), ”Batas-batas Konsep Kemajuan dalam Papua Road Map”, di buku Emansipasi Papua: Tulisan Para Sahabat untuk Mengenang dan Menghormati Muridan S Widjojo (1967-2014). Pertanyaan pentingnya adalah apakah PRM dan gagasan dialog Jakarta-Papua memberikan ruang dan nuansa bagi orang Papua untuk mengimajinasikan dirinya, relasi mereka dengan alam, leluhur, dan orientasi kehidupan dan pengetahuan mereka yang sering kali tidak penad (cocok) dengan orientasi kemajuan dan negara-bangsa Indonesia?


Mempertanyakan rekognisi

Akar dari rasisme pembangunan dan pemaksaan ”kemajuan” telah melahirkan ingatan kekerasan dan penderitaan yang menubuh (hidup dalam keseharian hidup orang Papua). Rasisme pembangunan dan pemaksaan kemajuan hingga kini terus berlangsung dengan bahasa yang dipercanggih melalui konektivitas melalui infrastruktur hingga kawasan ekonomi eksklusif. Apa yang hilang dari hal ini? Menurut saya yang hilang adalah rekognisi terhadap kekayaan-kekayaan pengetahuan berkaitan dengan orientasi-orientasi Papua dan usaha kita memahaminya.

Salah satu hal terpenting dan menjadi urat nadi berbagai kompleksitas permasalahan Papua adalah pertanyaan berkaitan dengan usaha merekognisi identitas Papua agar menjadi subyek dalam proses politik dan pembangunan? Apa bentuk dan bagaimana melakukannya?

Gagasan menempatkan orang Papua sebagai subyek politik dan pembangunan terhadang tembok perspektif NKRI harga mati yang diterjemahkan dalam ”keras” dan ”halus”. Penerapan yang ”keras” berhubungan dengan pendekatan militeristik yang melahirkan sejarah penyiksaan, kekerasan, dan rasisme dalam relasi orang Papua dengan institusi-institusi kekerasan Indonesia. Penerapan lainnya juga berkaitan dengan eksploitasi alam Papua yang dilakukan jejaring korporasi yang bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk mengapling alam Papua dengan berbagai perusahaan ekstraktif dan sawit.

Penerapan yang ”halus” berkaitan dengan penyingkiran orang Papua berkedok pembangunan untuk kemajuan yang bias migran (pendatang), elite (Papua), dan juga birokratis. Cara halus ini juga berhubungan dengan serangkaian pengetahuan yang direproduksi oleh kaum cerdik pandai atau akademisi tentang Papua yang kolonialistik dan juga menjadi legitimasi pemerintah dan korporasi untuk mengeruk alam Papua.

Jaap Timmer secara retoris mengungkapkan bahwa gagasan yang dikemukakan PRM justru terbatas ”hanya” pada bagaimana orang Papua memahami dirinya dalam konteks negara-bangsa Indonesia. Ia menuliskan bahwa sasaran utama PRM adalah ”rekognisi (identitas Papua) harus diarahkan agar orang asli Papua untuk menjadi subyek dalam proses politik dan pembangunan”. PRM baginya tidak memberi nuansa pada proses rekognisi ini, tetapi malah menggunakan gagasan negara-bangsa Indonesia sebagai titik tolak. Akibatnya, PRM hanya memberikan sedikit ruang untuk cara orang mengetahui siapa mereka, rasa kebersamaan mereka, dan cara mereka menciptakan diri (Timmer, 2022: 309).

Tindak lanjutnya adalah rangkaian pertemuan dari berbagai pengampu kepentingan baik dari pihak Pemerintah Indonesia maupun berbagai elemen dari rakyat Papua yang difasilitasi oleh Jaringan Damai Papua (JDP). Berbagai istilah kemudian bermunculan: dialog damai, dialog sektoral, dialog konstruktif hingga berbagai lembaga dan program yang mengurus ”percepatan” pembangunan Papua.

Terkini, pemekaran daerah dikebut untuk tujuan meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Tanah Papua dibagi-bagi oleh kewenangan pemerintah Indonesia yang didukung oleh para elite lokal sebagai ”tim sukses”.

Serangkaian kerangka konseptual ”memaksa” orang Papua masuk dalam skema pembangunan dan modernitas yang ditentukan negara. Di antara kerangka tersebut semisal pembangunan (modernitas), kemajuan kolonial, agama dan konsep negara bangsa. Kerangka-kerangka tersebut mengharapkan masyarakat Papua untuk menjadi bagian dari modernitas, sejarah dan masa depan Indonesia.

Apabila mereka tidak ikut proses kemajuan negara yang berlangsung cepat, mereka tidak bisa ikut serta dalam semua program sosialisasi dan pembangunannya. Kemajuan memberikan dasar untuk memasukkan orang Papua dalam modernitas Indonesia bersama dan ini membatasi ”kemungkinan untuk membayangkan dan memberlakukan penentuan nasib sendiri sebagai pribumi”.

Pengabaian ”orientasi-orientasi Papua” ini berlangsung masif yang perlahan-lahan diadaptasi oleh orang Papua sendiri dalam cara pandang mereka. Sejatinya orang Papua memiliki pengetahuan dan gagasan yang memperkuat kekuatan imajinasi dan gagasan religius tentang kedaulatan lokal dan gagasan terkait bangsa mereka. Bentuk-bentuk kehidupan yang dihasilkan dibangun di atas hubungan asli dengan tanah, masa lalu, masa kini dan masa depan. Pertanyaan selanjutnya yang patut dielaborasi adalah bagaimana berpikir tentang tanah, hubungan mereka dengan kerabat, leluhur, roh, Tuhan, dan entitas non-manusia (Timmer, 2022: 309-317).

Pengabaian ”orientasi-orientasi Papua” berlangsung beriringan dengan penyingkiran orang Papua di atas tanahnya sendiri. Penyingkiran tersebut adalah perampasan secara perlahan-lahan rakyat Papua di tanahnya sendiri. Inilah yang sering disebut dengan sistem kolonialisme baru pemukim (settler colonialism), yang menekankan kepada invasi dari ”para penjajah” yang datang untuk mengeleminasi (baca: menyingkirkan) komunitas lokal (tempatan), membubarkannya dan kemudian mendominasi wilayah yang sebelumnya menjadi tanah leluhur masyarakat pribumi tersebut.

Rangkaian sistem kolonialisme baru pemukim tersebut bisa dilacak dengan merangkai berbagai peristiwa-peristiwa invasi yang dialami oleh masyarakat pribumi (Papua) yang saling berkait dan menunjukkan tujuan politiknya. Seperti dengan tegas ditekankan oleh Wolfe (2006: 388), logika settler colonialism adalah menghancurkan untuk menggantikan masyarakat pribumi dari serangkaian peristiwa invasi yang tidak berdiri sendiri, tetapi mencipta sebuah struktur penjajahan yang tampak ”memberdayakan”, halus, dan berlangsung sehari-hari.

Menuju dialog damai Papua, hemat saya, sangat perlu memasukkan ”orientasi-orientasi Papua” ini di dalamnya. Hal ini sekaligus juga menantang pengetahuan dan pemahaman kita terhadap keberagaman kosmologi budaya dan pengetahuan tentang kedaulatan identitas orang Papua, yang selama ini disederhanakan bahkan dianggap tidak ada.

Cara ini harus dilakukan untuk memberikan nuansa dan cakrawala yang menyemaikan pemahaman kita terhadap Papua, yang selama ini terkungkung oleh proyek politik NKRI harga mati dan pembangunan untuk kemajuan. Hemat saya, pada momentum inilah sebenarnya kita memulai gerakan memahami Papua yang selama ini saya kira berlangsung dalam kepura-puraan semata.

Posting Komentar untuk "Opini I Ngurah Suryawan: Mengembalikan ”Orientasi-orientasi Papua”"