Opini Idi Subandy Ibrahim: Menjaga Marwah Pendidikan Tinggi

Idi Subandy Ibrahim

Menjaga Marwah Pendidikan Tinggi

Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi; Pengajar di Magister Ilmu Komunikasi (MIK) Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung; Pengajar LB di MIK Pascasarjana FISIP Universitas Brawijaya (UB) Malang: dan Pengajar LB di Program Doktor (S-3) Agama dan Media/Studi Agama-agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung


Menjelang tahun ajaran baru, persoalan pendidikan mengemuka kembali. Mengapa untuk urusan pendidikan yang begitu penting bagi pembudayaan nilai dan pencerdasan manusia kita masih seperti jalan di tempat, pada persoalan tata kelola yang dinilai sebagian masyarakat belum sejalan dengan cita-cita luhur pendidikan nasional.

Kemudian diperkisruh mulai dari perjokian dan korupsi di perguruan tinggi (PT), melonjaknya biaya kuliah di hampir semua PTN hingga ekses yang muncul dari sistem zonasi dalam pendaftaran peserta didik baru (PPDB).

Dalam hal PPDB di tingkat pendidikan dasar dan menengah, di satu sisi, kita melihat meningkatnya keinginan masyarakat dalam menempuh pendidikan di sejumlah daerah yang sejatinya meningkatkan angka partisipasi pendidikan. Di sisi lain, animo tersebut belum sepenuhnya mampu diantisipasi dengan tata kelola yang solid dan terpadu sehingga masih membuka celah bagi sebagian orang untuk berbuat curang atau mempermainkan aturan.

Kemudian bila mengarahkan perhatian ke tingkat PT, khususnya PTN, persoalan penerimaan peserta didik baru juga memunculkan dilemanya sendiri dengan diterapkannya kebijakan kemandirian PTN. Bagaimana bisa meningkatkan dana operasional pendidikan dengan menaikkan biaya kuliah seperti UKT tanpa mengorbankan prinsip keadilan dan pemerataan pendidikan bagi calon mahasiswa pintar dan berprestasi tetapi kurang mampu?


Bukan ”kapal keruk”

Beberapa pengamat pendidikan menilai PTN memang belum memiliki pengalaman seperti PTS dalam mencari dana pendidikan mandiri. Politik kebijakan kemandirian PTN dengan pengurangan subsidi negara, di satu sisi, mendorong kreativitas di beberapa PTN, di sisi lain, ”memaksa” untuk berkinerja dan berpromosi seperti PTS sehingga PTN seperti mengalami ”benturan” cita-cita idealnya.

Ketika menyaksikan universitas-universitas negeri berlomba-lomba menerima banyak mahasiswa dari berbagai jalur, Guru Besar Bidang Hukum Internasional Universitas Padjadjaran Atip Latipulhayat dalam suatu kesempatan mengibaratkan ”universitas sebagai kapal keruk”. Seperti kapal keruk, yang mengeruk sebanyak-banyaknya kekayaan alam, universitas seperti dipaksa untuk mengeruk sebanyak-banyaknya dari kantong masyarakat.

Terutama kantong sebagian orangtua yang sangat berambisi dan merasa bergengsi kalau anaknya bisa berkuliah di PTN. Sepertinya, berapa pun mereka mau membayar, alih-alih memikirkan konsekuensinya. Kondisi seperti ini mungkin ikut membudayakan ”calo” atau ”makelar” dalam penerimaan mahasiswa baru yang melibatkan beberapa oknum di beberapa PTN.


Impikasi serius

Kisah keunggulan PTN sebagai tempat impian belajar ideal bagi anak muda dari sejumlahdaerah di Tanah Air tanpa memandang latar berhadapan dengan rendahnya anggaran pendidikan tinggi, disertai hasrat sebagian besar orangtua agar anaknya bisa berkuliah di PTN jika tidak diantisipasi akan berimplikasi serius setidaknya pada beberapa sisi.

Pertama, marwah PTN sebagai tempat mendidik anak-anak terbaik (termasuk dari keluarga biasa) dari sejumlah daerah perlahan tetapi pasti kian tergerus ketika biaya menjadi faktor penting bahkan penentu untuk berpartisipasi dalam pendidikan tinggi. Di sini jelas anak-anak muda potensial bisa tersingkir sebelum bertanding. Keterbatasan kemampuan orangtua memupus impian mereka memasuki lapangan permainan. Kondisi seperti ini tidak terjadi sampai akhir 1990-an. Ketika untuk memasuki universitas terbaik, faktor kecerdasan, kerja keras dan nasib baik anak muda di seluruh Indonesia belum dikalahkan biaya pendidikan!

Kedua, budaya akademis yang tidak sehat akan terbentuk sebagai ekses dari kebijakan yang semata-semata atas nama ekonomi dan materi tanpa berempati pada dimensi humanistik dari pendidikan dan akan berakibat jangka panjang, yakni meningkatnya ketimpangan akses dan tercederainya prinsip keadilan pendidikan untuk semua. Tak heran kebijakan pendidikan yang terlalu mengandalkan pemasukan dari masyarakat dikritik sebagian kalangan sebagai hanya cara negara lepas tangan dari tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa yang diamanatkan dalam konstitusi.

Harapan menjadikan universitas menjual produk pengetahuan sebagai basis pengembangan industri dan kebijakan strategis juga hanya angan-angan jika kalangan pemangku kepentingan di luar universitas hanya berkepentingan menjadikan universitas tempat mencari status atau pengukuhan gelar. Alih-alih mengangankan ilmuwan Indonesia bisa meraih Nobel! Seperti menggantang asap atau mengukir langit!

Ketiga, kebijakan kemandirian PTN berimplikasi lebih jauh karena ikut memukul sebagian (untuk tidak mengatakan sebagian besar) PTS di Indonesia pascapandemi yang mengandalkan pemasukan dana dari penerimaan mahasiswa. Tersedotnya calon mahasiswa ke berbagai PTN dalam jangka panjang akan melumpuhkan keberlangsungan PTS yang sudah sekian dekade ikut berkontribusi mencerdaskan anak bangsa. Kita tidak meremehkan adanya program studi di segelintir PTS yang tidak kalah dengan di PTN. Tetapi menganggap semua PTS bisa berkompetisi dengan PTN jelas tidak memahami kenyataan dunia pendidikan di Tanah Airnya. Jika tidak ada pembatasan atau aturan main yang jelas, cepat atau lambat, kemungkinan akan banyak PTS yang gulung tikar. Jika ini adalah akibat yang diharapkan, kita layak prihatin.

Akhirnya, PT memang bukan kapal keruk. Sejatinya lebih seperti kapal paray, yang mengantar banyak penumpang menuju tujuan dengan biaya terjangkau. Tanggung jawab pendidikan memang bukan hanya pada pemerintah. Ki Hadjar Dewantara jauh hari mengingatkan, masyarakat ikut bertanggung jawab atas haluan pendidikan bangsanya. Seyogianya permasalahan pendidikan yang mengusik rasa keadilan mendapat perhatian kita semua: pemerintah, wakil rakyat, dan pemangku kepentingan untuk sama-sama menyiapkan generasi emas. Jika pendidikan sebagai pembudayaan nilai, melepas pendidikan semata-mata ke ”mulut” pasar, tidak hanya menjauhi amanah konstitusi, tetapi juga perlahan membentuk generasi dengan nilai hidup materialistik, bukan humanistik.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال