Opini Retno Sulistyowati: Aturan Pasir Laut

Opini Retno Sulistyowati Aturan Pasir Laut

Aturan Pasir Laut

Retno Sulistyowati
Jurnalis Majalah Tempo


DISKUSI mengenai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut di Kota Batam, Kepulauan Riau, Kamis, 8 Juni lalu, sempat memanas. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengulangi kalimat tentang ekspor pasir laut sebagai opsi terakhir dalam regulasi tersebut. Dia menekankan, pemerintah mengutamakan pengelolaan hasil sedimentasi laut untuk proyek reklamasi di dalam negeri.

Trenggono menjelaskan bahwa aturan ini diperlukan untuk menertibkan pengerukan pasir laut agar tidak ada lagi kegiatan ilegal dan tak terkontrol. Jika pengerukan tak diatur, kata dia, siapa saja akan mengambil pasir laut untuk reklamasi. “Ingat, ya. Saya tidak bicara soal ekspor," tutur Trenggono seusai diskusi. 

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Inspektur Jenderal Victor Gustaaf Manoppo juga gusar karena peserta diskusi menilai aturan ini membuat wilayah laut terkotak-kotak. Victor menolak terminologi "tambang pasir laut" yang mengemuka dalam diskusi itu. Menurut dia, istilah yang pas adalah "pembersihan sedimentasi laut". "Kita sepakati terminologi dulu, saya tidak pernah sampaikan ini penambangan," ucapnya. 

Victor punya alasan mengenai istilah ini. Menurut dia, yang diambil bukan hanya pasir, melainkan sedimen yang di dalamnya terdapat pasir, lumpur, dan material lain. Victor juga akan memastikan penggunaan alat yang ramah lingkungan dalam pengambilan sedimen laut. “Perusahaan lokal yang ikut dalam aktivitas ini akan kami periksa betul," ujarnya.

Tapi Direktur Yayasan Terumbu Karang Indonesia Safran Yusri menilai istilah "pembersihan sedimentasi laut" berada di ranah abu-abu, baik dari sisi hukum maupun sosial. “Berbeda dengan pertambangan yang jelas hitam dan putihnya,” katanya. Safran juga mengkritik soal kapal pengambil sedimen laut yang dinilai ramah lingkungan. Sebab, dia menjelaskan, selama ini belum ada studi kasus yang menunjukkan hal itu. “Kami sulit menerima penjelasan itu, PP Nomor 26 Tahun 2023 ini masih bias,” Safran menegaskan.

Diskusi di Batam berlangsung dua pekan setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan menggelar konsultasi publik di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Acara itu tak cuma menuai kritik dari pegiat lingkungan. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pasir Laut Herry Tousa juga menyatakan tak puas. “Mengapa di Yogyakarta? Mayoritas stakeholder ada di Kepulauan Riau,” ujarnya. Polemik seputar regulasi pengelolaan hasil sedimentasi di laut pun terus bergulir.


PEJABAT Kementerian Kelautan dan Perikanan terus berkukuh bahwa ekspor pasir adalah opsi terakhir. Tapi, nyatanya, lobi mengenai ekspor pasir laut dari Indonesia ke Singapura sudah berlangsung sejak tiga tahun lalu. Pada 30 Juni 2020, di tengah masa pandemi Covid-19, Aryo Hanggono yang saat itu menjabat Direktur Jenderal Penataan Ruang Laut Kementerian Kelautan melayangkan surat kepada Chief Executive Officer JTC Corporation Ng Lang. 

JTC Corporation—dulu bernama Jurong Town Corporation—adalah lembaga pemerintah di bawah Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura yang mengurus pembangunan industri berkelanjutan. Dalam suratnya, Kementerian Kelautan meminta diadakan pertemuan antara Tim Pengendalian dan Pengawasan Pasir Laut (TP4L) dan JTC. TP4L adalah kelompok kerja ex officio pemerintah yang beranggotakan delapan menteri, Kepala Kepolisian RI, Panglima Tentara Nasional Indonesia, dan Gubernur Kepulauan Riau. TP4L bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. 

Dalam surat bernomor B.585/DJPRL/VI/2020 tersebut, Kementerian Kelautan berharap pertemuan dapat digelar di kantor JTC Singapura setelah penutupan wilayah Singapura bagi warga negara asing di masa pandemi disudahi. Agenda pertemuan adalah pemaparan potensi dan perizinan ekspor pasir laut dari Indonesia ke Singapura. “Kami berharap segera ada jadwal pertemuan,” demikian petikan isi surat itu. 

Pada 13 Juli 2020, JTC memberi jawaban. Calvin Chung, yang saat itu menjabat Group Director Engineering JTC, mengatakan bersedia menjadi tuan rumah. Namun ada kesulitan karena pemerintah Singapura membatasi mobilitas warga di masa pandemi. JTC pun menawarkan pertemuan daring melalui aplikasi Microsoft Teams untuk membahas ekspor pasir.

Pembicaraan ini kemudian tersendat karena Aryo terserang Covid-19 dan wafat pada akhir September 2020. Korespondensi dengan JTC kemudian dijalin oleh pelaksana tugas Direktur Jenderal Penataan Ruang Laut, Tb. Haeru Rahayu. Dalam suratnya pada akhir 2020, JTC lagi-lagi tak bisa memenuhi permintaan bersemuka. “Kami berharap bisa memberikan tanggapan positif pada Januari atau Februari 2021,” kata Chung. 

Tak lama kemudian, Chung menyusulkan surat baru. Ia mengatakan JTC hanya dapat melanjutkan pertemuan di Singapura setelah situasi membaik. Sakti Wahyu Trenggono kemudian menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan pada 22 Desember 2020, menggantikan Edhy Prabowo yang ditetapkan sebagai tersangka kasus suap benur lobster oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Gagasan membuka kembali keran ekspor pasir laut pun mengemuka setelah 20 tahun terhenti. Larangan ekspor pasir laut diatur berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Lingkungan Hidup. Kebijakan di era Presiden Megawati Soekarnoputri itu ditempuh sebagai cara mencegah kerusakan lingkungan dan tenggelamnya pulau-pulau kecil. 

Kepulauan Riau, yang menjadi salah satu batas terluar wilayah Indonesia, sangatlah penting. Sebab, sebagian besar pasir yang disedot dari dasar laut di Indonesia berasal dari kepulauan itu. Pasir laut diekspor ke Singapura dan Malaysia untuk mereklamasi pantai. Singapura membuat delapan pulau kecil, yaitu Seraya, Merbabu, Merlimau, Ayer Chawan, Sakra, Pesek, Masemut Laut, dan Meskol, menjadi Pulau Jurong. Seusai reklamasi, wilayah Jurong maju sejauh 3,5 kilometer ke arah barat daya.

Semenjak ekspor pertama pada 1970-an hingga pelarangan pada 2003, diperkirakan sekitar 45 juta meter kubik pasir laut dikeruk. Departemen Perindustrian dan Perdagangan mencatat pasir laut yang diekspor mencapai 2 juta meter kubik setiap hari. Dari jumlah itu, yang legal hanya 900 ribu meter kubik. Pemerintah pun diperkirakan merugi US$ 330 juta per tahun.

Desakan mengizinkan kembali ekspor pasir laut mencuat pada periode pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pasir Laut (APPL) Herry Tousa mengaku termasuk yang mendorong gagasan tersebut. Ia beralasan, selama ini banyak pemegang izin usaha pertambangan pasir laut yang mati suri. Sempat ada pertemuan APPL dengan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, yang antara lain mengizinkan pengerukan pasir untuk memenuhi kebutuhan domestik. “Waktu itu (izin) per lima tahun,” ucapnya. Pasir tersebut dijual ke proyek pemerintah dan pihak swasta. “Tapi harga tidak memadai,” ujar Herry.

Herry juga mengaku mengusulkan pembukaan kembali keran ekspor pasir laut pada 2017. Ia meyakinkan pengerukan pasir laut yang dilengkapi izin dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) tidak merusak lingkungan. 

Di Kementerian Kelautan, gagasan serupa ternyata menyelinap dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Aturan turunannya, Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang terbit pada 2 Februari 2021, menyebut pemanfaatan pasir laut sebagai salah satu kegiatan usaha subsektor pengelolaan ruang laut berdasarkan hasil analisis risiko.

Pemerintah juga menerbitkan PP Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 19 Agustus 2021. Pasal 8 aturan ini memuat ketentuan tarif berbagai jenis aktivitas pemanfaatan laut. PP ini juga menyatakan pemanfaatan pasir laut dihitung berdasarkan perkalian persentase dengan volume dan harga patokan.

Berbekal regulasi itu, Trenggono mengeluarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 82 Tahun 2021 tentang harga patokan pasir laut dan PNBP. Lampiran aturan yang terbit pada 18 September 2021 ini menyatakan harga patokan pasir laut Rp 188 ribu per meter kubik untuk penjualan dalam negeri dan Rp 228 ribu per meter kubik buat ekspor. Belakangan, tarif tersebut menuai protes pengusaha karena dinilai terlalu mahal.

Langkah Trenggono mengusung PNBP perizinan berusaha terkait dengan pemanfaatan di laut pun sempat tersendat di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian. Seorang pejabat bercerita, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menolak karena akan terjadi pungutan ganda atau double accounting pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Kelautan. Saat ditanyai tentang hal ini, Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengaku tidak tahu. 

Kemudian muncul gagasan membuat peraturan pemerintah baru sebagai dasar hukum. Karena peraturan itu tak masuk program legislasi, Kementerian Kelautan mengajukan permohonan izin prakarsa penyusunan Rancangan PP tentang Pemanfaatan Hasil Sedimentasi di Laut berikut naskah akademiknya. Rencana ini kemudian disusul penerbitan surat kepada Kementerian Sekretariat Negara mengenai Rancangan PP tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, 30 Maret 2022. Presiden Joko Widodo memberi persetujuan pada 25 April 2022.

Kepada Tempo, Jumat, 9 Juni lalu, Trenggono mengungkapkan bahwa pembuatan aturan tersebut dilatari banyaknya proposal reklamasi yang masuk ke mejanya. Dalam usul itu, reklamasi disebut dilakukan menggunakan pasir laut. “Kalau dari pasir laut kan merusak lingkungan,” tuturnya. Karena itu, Trenggono menyetop pengerukan pasir di Pulau Rupat, Riau, yang menyebabkan daratannya terkikis. 

Dasar PP baru, Trenggono mengungkapkan, adalah pengelolaan hasil sedimentasi. Ia menekankan bahwa definisi hasil sedimentasi adalah material timbunan. Ia mengaku mengoreksi usul regulasi saat Kementerian Kelautan dipimpin Edhy Prabowo. “Yang benar sedimentasi. Kalau (pemanfaatan) pasir laut, bahaya, berarti yang di pinggir pantai boleh.”

Pembahasan draf PP pun sempat berlarut-larut. Tarik-ulur kencang terjadi antara Kementerian Kelautan, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Energi. Kementerian Kelautan dianggap ingin menguasai semua zona laut melalui regulasi ini. Karena pembahasan tak kunjung kelar, akhirnya Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi mengambil alih koordinasi. Ditanyai tentang hal ini, Trenggono membantah. "Saya tidak pernah berpikir begitu. Saya hanya berpikir ada sedimen yang menutupi terumbu karang dan mengganggu ekosistem," ujarnya.  

Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Arif Toha Tjahjagama mengaku terlibat dalam pembahasan Rancangan PP tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut sejak tahun lalu. “Perhatian kami adalah yang berhubungan dengan alur pelayaran,” ucapnya pada Jumat, 9 Juni lalu. Zona alur pelayaran akhirnya dikecualikan dalam PP tersebut.

Arif mengatakan reklamasi atas proyek infrastruktur perhubungan laut biasanya tidak menggunakan pasir laut hasil pengerukan dari daerah lain. Dia memberi contoh proyek Pelabuhan Patimban di Subang, Jawa Barat, yang memanfaatkan material kerukan dari area proyek atau menggunakan pasir darat yang lebih kokoh.

Sedangkan staf khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Irwandy, enggan mengomentari kabar tentang tarik-ulur pembahasan PP Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Ia hanya mengatakan penerbitan izin usaha pertambangan tetap menjadi kewenangan Kementerian Energi. "Kalau penjualan lumpur yang tidak mengandung mineral kewenangan Kementerian Kelautan,” katanya.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال