Erapublik.com - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, mengungkapkan keraguannya terhadap kepemilikan uang Rp 920 miliar dan emas 51 kilogram yang disita dari kediaman mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar. Menurut Mahfud, jumlah kekayaan yang fantastis tersebut kemungkinan besar bukan milik pribadi Zarof sepenuhnya. Pernyataannya ini menggugah berbagai kalangan untuk mempertanyakan siapa sebenarnya pemilik dana tersebut.
"Saya yakin bukan punya dia, dia kan bukan hakim, dia hanya pejabat," ungkap Mahfud jadi sorotan publik, terutama ketika ia membandingkan kasus ini dengan korupsi yang juga melibatkan Sekretaris MA sebelumnya, Hasbi Hasan.
“Sama dengan Sekretaris Mahkamah Agung, yang juga bukan hakim, tapi korupsinya sangat besar itu,” tambah Mahfud, dikutip pada Rabu, 30 Oktober 2024.
Mahfud menyebutkan bahwa posisi Zarof sebagai Kepala Balitbang Diklat Kumdil di MA memberinya peran istimewa dalam pengurusan perkara, meski secara resmi bukan seorang hakim. Justru posisi inilah yang memungkinkan Zarof menjadi “makelar kasus,” bertindak sebagai perantara antara pihak-pihak berperkara dan para hakim. Bukan tanpa alasan Mahfud menyimpulkan bahwa uang yang disita dari rumah Zarof kemungkinan juga merupakan titipan dari hakim-hakim lain atau orang yang memiliki perkara yang belum sempat disalurkan.
Apalagi, barang bukti yang ditemukan mencapai nilai sekitar Rp 1 triliun, menunjukkan skala korupsi yang mengejutkan. Dalam kasus ini, Zarof diketahui memegang peran signifikan sebagai penghubung dalam perkara yang menjerat Gregorius Ronald Tannur. Zarof, dalam kasus ini, diindikasikan menerima dana untuk melobi hakim agar vonis yang dijatuhkan kepada Ronald Tannur diperkuat. Hal ini menandakan bahwa selain berfungsi sebagai perantara, Zarof turut berperan dalam upaya mempengaruhi keputusan hukum di pengadilan.
Mahfud pun mendorong agar Kejaksaan Agung (Kejagung) menyelidiki lebih dalam perkara-perkara lain di MA yang terjadi selama dekade terakhir, khususnya sejak 2012 hingga 2022.
“Kalau itu menyangkut perkara pidana, apalagi korupsi, bisa dibuka lagi. Hakim yang sudah pensiun pun bisa diadili lagi,” kata Mahfud.
Upaya ini diharapkan dapat membuka praktik-praktik korupsi lain yang mungkin masih tersembunyi di balik birokrasi MA.
Tak hanya uang, dalam penggeledahan di rumah Zarof di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, ditemukan pula logam mulia berupa emas seberat 51 kilogram. Rinciannya mencakup 498 kepingan emas masing-masing seberat 100 gram, empat keping emas seberat 50 gram, dan satu keping emas seberat 1 kilogram.
Emas ini menambah jumlah total barang bukti yang mengejutkan banyak pihak. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, menyebutkan bahwa total uang yang ditemukan dalam berbagai mata uang, bila dikonversikan, mencapai angka sekitar Rp 920 miliar.
Meski saat ini Zarof telah ditahan di Rutan Kejagung, pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahmat, yang diduga juga terlibat dalam kasus ini tidak ditahan. Hal ini dikarenakan Lisa telah lebih dulu menjalani penahanan dalam kasus dugaan suap terkait tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang memvonis bebas Ronald Tannur dalam perkara pembunuhan Dini Sera Afriyanti. Kasus ini pun menyeret lebih banyak pihak di lingkungan peradilan, menyingkap bagaimana pengaruh korupsi meluas hingga ke berbagai lapisan pengadilan di tanah air.
Desakan Mahfud kepada Kejagung untuk menggali lebih dalam kasus-kasus lain yang mungkin pernah ditangani Zarof menunjukkan adanya celah di lembaga peradilan yang perlu segera diperbaiki. Praktik suap dan makelar kasus di MA menjadi sorotan utama karena menyangkut kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Korupsi di lembaga tinggi hukum ini memperlihatkan bahwa ada pola korupsi yang telah berlangsung cukup lama, bahkan mengakar di lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan keadilan.
Untuk saat ini, semua mata tertuju pada langkah Kejagung dalam menindaklanjuti temuan barang bukti yang begitu besar di rumah Zarof. Pengungkapan ini diharapkan mampu membawa perubahan yang mendasar bagi institusi MA serta memperkuat komitmen Indonesia dalam memberantas korupsi.