Erapublik.com - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan publik setelah mengabulkan sebagian uji materi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja atau yang lebih dikenal sebagai UU Cipta Kerja (Ciptaker). Gugatan ini diajukan oleh Partai Buruh dan enam pemohon lainnya, yang mempermasalahkan berbagai ketentuan di dalam UU tersebut yang dinilai merugikan hak-hak pekerja.
Ketua MK, Suhartoyo, menyampaikan putusan penting ini pada Kamis (31/10) dengan mengabulkan sebagian permohonan yang tercantum dalam perkara nomor 168/PUU-XXI/2023. Suhartoyo mengungkapkan bahwa MK saat ini juga sedang menangani dua perkara lain dengan isu konstitusionalitas yang serupa, yaitu perkara nomor 40 dan 61/PUU-XXI/2023. Namun, mengingat dalil-dalil dalam perkara nomor 168 memiliki cakupan yang lebih luas, putusan untuk perkara ini akan menjadi rujukan bagi perkara serupa lainnya.
Tujuh Isu Besar dalam Putusan MK
Dalam pertimbangan dan putusan yang dibacakan, MK menyoroti tujuh isu besar yang menjadi dasar argumen pemohon, yang secara langsung berdampak pada hak-hak pekerja. Isu-isu ini mencakup perizinan tenaga kerja asing, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), outsourcing, cuti, pengupahan, ketentuan pesangon, dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ketujuh poin ini memang bukan isu baru dalam protes dan penolakan terhadap UU Ciptaker, terutama dari kalangan buruh. Misalnya, isu penggunaan tenaga kerja asing (TKA) yang tidak lagi memerlukan izin dianggap membuka peluang lebih luas bagi perusahaan untuk mempekerjakan pekerja asing, yang bisa berdampak pada lapangan kerja dalam negeri. Para buruh khawatir bahwa kebijakan ini akan melemahkan posisi pekerja lokal, yang selama ini sudah berjuang untuk bersaing di pasar tenaga kerja.
Kontroversi PKWT dan Outsourcing
PKWT dan outsourcing adalah dua hal yang sejak awal dianggap sangat kontroversial dalam UU Cipta Kerja. Sistem PKWT memungkinkan perusahaan untuk memberlakukan kontrak sementara bagi karyawan, yang berarti posisi mereka lebih rentan tanpa kepastian kerja jangka panjang. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa pekerja akan semakin mudah diputus kontraknya tanpa kompensasi yang memadai.
Outsourcing atau alih daya juga menjadi sorotan besar karena banyak yang menganggap kebijakan ini berpotensi mengurangi hak-hak pekerja. Dengan sistem outsourcing, perusahaan dapat memindahkan sebagian besar tanggung jawabnya sebagai pemberi kerja kepada pihak ketiga. Akibatnya, pekerja di bawah sistem ini sering kali mendapatkan gaji dan tunjangan yang lebih rendah daripada pekerja tetap, sementara mereka tidak memiliki akses yang sama ke tunjangan atau hak-hak lainnya seperti jaminan kesehatan dan pesangon.
Isu Cuti, Pengupahan, dan PHK
Dalam aspek cuti, pengupahan, dan PHK, MK juga memberikan perhatian khusus. UU Ciptaker memangkas beberapa hak cuti yang semula sudah diperoleh pekerja, termasuk cuti haid, cuti hamil, dan cuti untuk keperluan pribadi lainnya. Dengan aturan baru ini, buruh merasa hak-hak dasar mereka sebagai pekerja dirampas dan mengurangi kesejahteraan mereka.
Pengupahan yang dibahas dalam UU Ciptaker juga mendapatkan penolakan keras. Beberapa aturan yang semula melindungi pekerja dari upah murah menjadi lebih longgar. Hal ini dikhawatirkan akan membuat upah minimum yang selama ini diperjuangkan menjadi sulit dipenuhi, dan standar penghidupan layak bagi para pekerja menjadi sulit tercapai.
Kebijakan terkait PHK atau pemutusan hubungan kerja dinilai semakin memudahkan perusahaan untuk memberhentikan pekerja tanpa memberikan kompensasi yang layak. Buruh menganggap ini sebagai ancaman besar karena tanpa perlindungan yang memadai, PHK dapat dilakukan secara sepihak dan membuat mereka kehilangan sumber pendapatan dalam waktu singkat.
Putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan ini mungkin memberikan secercah harapan bagi para pekerja, namun banyak yang masih bertanya-tanya apakah ini cukup. Meskipun beberapa aspek UU Ciptaker dinyatakan inkonstitusional oleh MK, sebagian besar ketentuan dalam undang-undang ini tetap berlaku. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pekerja bahwa putusan ini mungkin hanya mengakomodasi sebagian kecil dari tuntutan mereka.
Partai Buruh dan beberapa organisasi lainnya menilai langkah ini sebagai kemenangan kecil, tetapi belum sepenuhnya menjawab keresahan yang selama ini dirasakan oleh jutaan buruh di Indonesia. Mereka berharap putusan MK ini dapat menjadi awal dari perbaikan sistem ketenagakerjaan yang lebih adil dan berpihak pada hak-hak pekerja.
Tantangan ke Depan bagi Perburuhan di Indonesia
Dengan putusan uji materi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja ini, MK telah membuka babak baru dalam perjuangan buruh di Indonesia. Namun, ada tantangan besar di depan. Meskipun sebagian permohonan dikabulkan, regulasi-regulasi yang menyangkut kesejahteraan buruh masih harus terus dikawal. Partai Buruh, serikat pekerja, dan lembaga-lembaga advokasi perlu terus memperjuangkan agar undang-undang yang dibuat benar-benar melindungi pekerja, bukan sebaliknya.
Di sisi lain, ini juga menjadi pengingat bagi pemerintah dan pembuat kebijakan untuk lebih memperhatikan dampak kebijakan terhadap rakyat kecil. UU Cipta Kerja sejak awal diusulkan sebagai jalan keluar untuk meningkatkan investasi dan membuka lapangan kerja, tetapi kenyataannya kebijakan ini justru menimbulkan banyak kontroversi. Diharapkan dengan putusan ini, ada perbaikan di masa depan sehingga kebutuhan investasi dan perlindungan hak-hak pekerja bisa berjalan seimbang.
Ke depan, perjuangan buruh tidak akan berhenti di sini. Dengan dukungan masyarakat, putusan ini diharapkan menjadi titik balik untuk tercapainya sistem ketenagakerjaan yang lebih adil dan manusiawi bagi semua pihak.