Erapublik.com - Suasana di Banda Aceh kian panas. Pada Kamis (7/11/2024), ratusan mahasiswa asal Aceh Selatan melakukan aksi protes di depan Kantor Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI Wilayah Aceh, menuntut agar pengungsi Rohingya yang dibawa dari Aceh Selatan tidak lagi dikembalikan ke wilayah mereka. Mahasiswa dengan suara bulat menyuarakan sikap mereka yang menolak kedatangan pengungsi ke daerah asal mereka, yang mereka nilai sebagai "beban" bagi pemerintah daerah.
Aksi ini dipimpin oleh Nirwanda Hendriyansyah, koordinator mahasiswa Aceh Selatan yang berkuliah di Banda Aceh.
“Dan akan kami hadirkan lagi kalau tidak ada titik temu,” ancam Nirwanda, yang menegaskan kesiapan mahasiswa untuk mendatangkan lebih banyak massa apabila permintaan mereka tak kunjung dipenuhi.
Aksi tersebut melibatkan sekitar 120 mahasiswa yang turun ke jalan, memperjuangkan apa yang mereka klaim sebagai hak Pemkab Aceh Selatan yang tak memiliki tanggung jawab terkait pengurusan pengungsi.
Bagi Nirwanda dan rekan-rekannya, Pemkab Aceh Selatan tidak punya kewajiban untuk menampung para pengungsi, mengingat tidak adanya kantor imigrasi di sana. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan mahasiswa yang mempertanyakan kenapa pemerintah daerah harus menanggung beban pengungsi Rohingya tanpa infrastruktur pendukung.
“Bicara tanggung jawab, Pemkab Aceh Selatan tidak ada tanggung jawabnya karena memang kantor imigran tidak ada di sana,” jelas Nirwanda tegas.
Tanpa Koordinasi dan Surat Resmi
Masalah semakin rumit saat 152 pengungsi Rohingya tiba di Banda Aceh pada Kamis pagi tanpa adanya koordinasi antara Aceh Selatan dan Banda Aceh. Lima truk yang membawa para pengungsi tersebut dibiarkan terparkir di depan Kantor Kemenkumham tanpa izin, memancing reaksi keras dari aparat dan masyarakat lokal. Kabag Ops Polresta Banda Aceh, Kompol Yusuf Hariadi, mengaku kecewa dengan kedatangan pengungsi yang dinilai tidak sesuai prosedur.
“Kenapa demikian, karena sampai sekarang kita belum menemukan, belum melihat MoU atau sepucuk surat pelimpahan dari Aceh Selatan ke Banda Aceh,” kata Kompol Yusuf. Menurutnya, langkah tanpa koordinasi tersebut menimbulkan keresahan di kalangan warga Banda Aceh yang sebelumnya telah menolak kedatangan pengungsi.
“Saya bersama pak Pj Sekda Kota Banda Aceh merasa tidak ada kompromi, tidak ada kolaborasi, tidak ada MoU kenapa tiba-tiba masuk ke Kota Banda Aceh," tambahnya.
Dilema Penanganan Pengungsi Rohingya di Indonesia
Kedatangan pengungsi Rohingya di Indonesia kerap menimbulkan tantangan baru, terutama di wilayah-wilayah yang tak siap menghadapi gelombang pengungsi dalam jumlah besar. Kondisi ini makin sulit ketika pengungsi yang ditempatkan di satu daerah sering kali melarikan diri atau berpindah ke daerah lain yang lebih menarik bagi mereka, tanpa izin atau pengawasan.
Di sisi lain, masyarakat Banda Aceh merasa dilema. Banyak yang menunjukkan empati terhadap penderitaan para pengungsi, tetapi rasa empati itu terbentur dengan keterbatasan sumber daya dan infrastruktur lokal. Banda Aceh, seperti halnya Aceh Selatan, tidak memiliki fasilitas penampungan yang memadai untuk menampung ratusan pengungsi tanpa pengaturan yang jelas. Hal ini, pada akhirnya, membuat pemerintah dan warga di daerah tersebut harus berhadapan dengan situasi pelik antara kemanusiaan dan keterbatasan.
Mahasiswa Siap Berjuang untuk Daerahnya
Sementara para pengungsi berada di bawah terik matahari di atas truk tanpa kepastian, mahasiswa Aceh Selatan tak gentar untuk melanjutkan perjuangan mereka. Bagi mahasiswa, ini bukan hanya soal menolak pengungsi; ini adalah bentuk protes terhadap kurangnya perhatian pemerintah pusat dalam menangani masalah pengungsi yang kian meresahkan. Nirwanda dan teman-temannya dari berbagai paguyuban berjanji akan terus menuntut agar pemerintah pusat mengambil langkah konkret, bukan sekadar menyuruh pemerintah daerah menampung mereka tanpa memberikan dukungan infrastruktur.
Aksi mahasiswa ini bisa menjadi sinyal bagi pemerintah pusat dan daerah lainnya tentang pentingnya koordinasi dalam menangani masalah pengungsi. Sebagai provinsi yang sering dijadikan tempat singgah para pengungsi, Aceh Selatan dan Banda Aceh merasa telah memberikan banyak kontribusi dalam isu ini. Namun, tanpa adanya bantuan konkret dari pemerintah pusat, permasalahan ini berpotensi menjadi bom waktu yang merugikan banyak pihak.
Peran Pemerintah Pusat Diperlukan
Melihat situasi yang semakin memanas ini, sejumlah pihak menilai bahwa Kemenkumham seharusnya lebih aktif dalam menangani masalah pengungsi. Aceh dan wilayah sekitarnya tidak bisa dibiarkan mengurus pengungsi yang datang terus-menerus tanpa bantuan. Dibutuhkan MoU yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah, serta strategi penanganan pengungsi yang lebih terstruktur dan berkelanjutan.
Kebijakan yang lebih konkret juga perlu dibuat untuk menangani pengungsi Rohingya yang telah berada di Indonesia. Kebijakan ini tidak hanya penting untuk mencegah friksi antar daerah, tetapi juga untuk menjamin bahwa para pengungsi memperoleh perlakuan yang layak selama mereka berada di Indonesia.