Erapublik.com - Di balik layar birokrasi yang tampak rapi dan terstruktur, skandal besar tengah merebak di tubuh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Kepolisian mengungkap fakta mencengangkan terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pemblokiran situs judi online. Kasus ini menyeret sejumlah pegawai Komdigi, yang diduga menerima setoran dari pengelola situs judi agar platform mereka tetap lolos dari proses pemblokiran.
Kombes Wira Satya Triputra, Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya, menjelaskan bahwa aliran dana ini terjadi secara rutin, setiap dua minggu sekali. Pemilik atau pengelola situs judi online disebut menyetor uang kepada oknum di kementerian agar situs mereka dikeluarkan dari daftar blokir.
"Uang tersebut sudah disetor setiap dua minggu sekali akan dikeluarkan dari list tersebut," ujar Wira pada Selasa (5/11) di hadapan wartawan.
Keterangan ini semakin mengukuhkan betapa rumit dan terorganisirnya skema yang diduga dijalankan oleh oknum pegawai dalam melindungi situs-situs tersebut.
Kantor Satelit di Bekasi Jadi Pusat Operasi
Pengungkapan kasus ini semakin menarik setelah polisi melakukan penggeledahan di sebuah 'kantor satelit' di ruko Grand Galaxy, Bekasi. Lokasi yang tampak biasa ini ternyata menjadi pusat kendali operasi pelindungan situs judi online yang dikendalikan oleh sindikat internal. Dari sini, polisi mengamankan tersangka dan sejumlah barang bukti, termasuk data yang mengarah pada modus operandi perlindungan situs perjudian.
Salah satu tersangka mengungkapkan bahwa imbalan bagi tiap situs judi online yang dilindungi mencapai Rp8,5 juta. Angka ini cukup besar jika mengingat bahwa sindikat ini berhasil mengamankan sekitar 1.000 situs dari 5.000 situs yang seharusnya diblokir. Dengan jumlah situs yang terlindungi mencapai ribuan, mudah dibayangkan betapa besar aliran dana yang berputar dalam operasi ini.
"Kewenangan dalam Genggaman": Tersangka yang Tak Lulus Seleksi
Salah satu sosok kunci dalam kasus ini adalah AK, tersangka yang ternyata sempat mengikuti seleksi penerimaan calon tenaga pendukung teknis sistem pemblokiran konten negatif di Komdigi pada tahun 2023, tetapi gagal dalam proses tersebut. Namun, hal yang mengejutkan, meski tidak lulus, AK tetap dipekerjakan dan diberikan kewenangan dalam pemblokiran situs judi online.
"Faktanya tersangka AK kemudian dipekerjakan dan diberikan kewenangan untuk mengatur pemblokiran website perjudian online," jelas Wira.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar terkait keputusan Komdigi dalam merekrut dan memberi wewenang kepada seseorang yang semestinya tidak lolos seleksi. Hingga saat ini, polisi masih mendalami alasan di balik keputusan Komdigi tersebut.
Pola Bisnis yang Berputar Cepat di Balik Pemblokiran Situs
Menurut Wira, para tersangka bekerja dengan skema terorganisir yang memastikan aliran dana berjalan lancar. Dengan setoran rutin yang diberikan setiap dua minggu, pemilik situs judi online tak hanya mendapatkan akses perlindungan, tetapi juga jaminan agar situs mereka tetap beroperasi tanpa kendala. Skema perlindungan ini seolah menciptakan sistem "pajak gelap" di kalangan pengelola situs judi, yang menjadikan korupsi sebagai jalur resmi di balik layar.
Dengan kata lain, para pelaku tak sekadar bermain kucing dan tikus dengan hukum, tapi mereka menciptakan ekosistem baru yang nyaris tak terjamah. Bagi pemilik situs judi online, pembayaran rutin ini dianggap sebagai biaya operasional yang perlu mereka keluarkan demi tetap bertahan di tengah upaya penertiban situs-situs serupa.
Jumlah Tersangka Bertambah, Tiga Otak Pelaku Terungkap
Dalam kasus ini, Polda Metro Jaya telah menetapkan 15 tersangka, 11 di antaranya adalah pegawai Komdigi. Dari jumlah tersebut, tiga tersangka utama, yakni AK, AJ, dan A, diduga sebagai otak dari operasi perlindungan situs judi online. Ketiganya memiliki peran besar dalam pengelolaan kantor satelit dan distribusi daftar situs judi yang diblokir serta yang akan dikeluarkan dari daftar blokir.
Dengan melibatkan banyak pihak dan oknum internal, operasi ini menunjukkan bahwa sistem perlindungan situs judi online berlangsung dengan rapi dan sistematis. Ketika daftar situs judi dibersihkan dari yang harus diblokir, AK akan menyerahkan daftar situs kepada tersangka lain, R, untuk proses pemblokiran yang sebenarnya. Artinya, daftar yang sampai ke pihak resmi hanyalah situs-situs yang tidak mampu membayar atau belum menyetor dana pada oknum Komdigi.
Komdigi dan Tantangan Membersihkan Nama Baik
Kasus ini jelas memberikan tantangan besar bagi Kementerian Komdigi, terutama dalam membersihkan nama baik dan membangun kembali kepercayaan masyarakat. Skandal ini mengungkap adanya kelemahan struktural dalam pengawasan internal serta ketidakcermatan dalam proses perekrutan tenaga pendukung teknis.
Di tengah gempuran kritik, Komdigi perlu segera mengambil langkah korektif, termasuk pengetatan proses seleksi dan audit berkala untuk mencegah oknum nakal kembali beraksi. Tak kalah pentingnya, transparansi dalam proses pemblokiran situs perlu ditingkatkan demi menghindari manipulasi data yang justru merugikan masyarakat.
Di satu sisi, kasus ini menjadi peringatan keras bagi kementerian untuk memperbaiki manajemen internal dan memperketat pengawasan. Namun di sisi lain, bagi masyarakat umum, kasus ini membuka mata akan kompleksitas dan celah-celah korupsi yang ada di balik birokrasi. Skema perlindungan situs judi online ini, yang diorganisir oleh sindikat internal, seolah menegaskan betapa sulitnya menutup peluang bisnis ilegal, apalagi jika mendapat dukungan dari pihak yang seharusnya menjaga integritas dan keamanan digital.
Kini, semua mata tertuju pada langkah kepolisian berikutnya dalam mengusut kasus ini hingga tuntas. Publik berharap ada keadilan yang ditegakkan dan reformasi struktural yang nyata di tubuh Komdigi. Satu hal yang pasti, kasus ini meninggalkan catatan kelam yang tak akan mudah dilupakan dalam sejarah pengawasan digital di Indonesia.